Bupati Pangandaran Menangis di Depan Dedi Mulyadi, Gaji Pegawai Tak Bisa Dibayar
Suasana sidang DPRD Jawa Barat mendadak haru ketika Bupati Pangandaran, Jeje Wiradinata, tak kuasa menahan tangis di hadapan anggota DPR RI sekaligus tokoh politik Jabar, Dedi Mulyadi. Tangisan Jeje bukan tanpa alasan—ia mengungkapkan kondisi keuangan daerah yang sedang berada dalam titik kritis, hingga gaji para pegawai negeri sipil (PNS) terancam tidak bisa dibayarkan.
Tangis Pemimpin karena Beban Tanggung Jawab
Dalam pertemuan resmi yang seharusnya berlangsung formal dan penuh agenda teknis, suasana berubah emosional ketika Jeje membeberkan realita pahit yang tengah dihadapi Pemerintah Kabupaten Pangandaran. Ia menjelaskan bahwa dana transfer dari pusat tak kunjung cair sepenuhnya, sementara pendapatan asli daerah (PAD) belum mampu menopang belanja rutin daerah, termasuk pembayaran gaji pegawai.
“Saya malu sebenarnya bicara begini, Pak Dedi. Tapi ini fakta… kami sudah tidak tahu lagi harus bagaimana,” ucap Jeje dengan suara bergetar, sambil menyeka air mata.
Sebagai kepala daerah, Jeje menegaskan bahwa dirinya merasa sangat bertanggung jawab terhadap ribuan ASN yang menggantungkan hidup dari gaji bulanan. Ia mengaku sudah mencari berbagai cara untuk menutupi defisit, namun belum membuahkan hasil.
Respons Dedi Mulyadi: Jangan Biarkan Kepala Daerah Berjuang Sendirian
Mendengar curahan hati tersebut, Dedi Mulyadi—yang dikenal lantang dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat kecil—memberikan respons yang tegas dan simpatik. Ia menyatakan bahwa sistem penganggaran daerah harus dikaji ulang, terutama terkait ketergantungan tinggi pada dana pusat yang sering tidak tepat waktu.
“Tidak boleh ada bupati menangis karena tidak bisa menggaji pegawainya. Ini soal martabat daerah. Pemerintah pusat dan provinsi harus segera turun tangan,” ujar Dedi.
Dedi juga meminta agar DPRD Jawa Barat ikut mendorong penyelamatan fiskal untuk Pangandaran dan daerah-daerah lain yang mengalami hal serupa. Ia menilai bahwa beban seperti ini tidak semestinya dipikul sendirian oleh kepala daerah.
Krisis Fiskal Daerah, Fenomena Nasional?
Kasus yang menimpa Pangandaran menjadi cermin dari persoalan keuangan daerah yang lebih luas. Banyak kabupaten dan kota di Indonesia mengalami ketergantungan tinggi pada dana alokasi umum (DAU) dan dana transfer pusat lainnya. Ketika aliran dana tersebut tersendat, roda pemerintahan lokal pun ikut tersendat.
Pengamat kebijakan publik menyebutkan bahwa krisis seperti ini bisa menjadi alarm bagi pemerintah pusat untuk lebih transparan dan akuntabel dalam pengelolaan anggaran, serta memberikan ruang lebih besar bagi daerah dalam menggali potensi PAD.
Tangisan yang Harus Didengar
Tangisan Bupati Jeje Wiradinata bukan sekadar luapan emosi, melainkan simbol keputusasaan pemimpin daerah yang dikepung keterbatasan fiskal. Ia mewakili suara banyak kepala daerah yang bekerja di bawah tekanan tinggi dan ekspektasi besar dari masyarakat.
Kini, publik dan pemerintah pusat perlu menyadari bahwa pembangunan tak hanya soal angka dan proyek fisik, tapi juga soal keadilan fiskal dan kemampuan daerah untuk berdiri tegak tanpa harus memohon sambil menangis.