Konten RUU TNI Dianggap Menyesatkan: TNI Dalami Peran Marcella Santoso
Polemik seputar Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) memasuki babak baru. Kali ini, perhatian publik tertuju pada konten viral yang dinilai menyesatkan dan berpotensi memicu kesalahpahaman publik, terutama terkait pasal-pasal sensitif dalam draf revisi tersebut. Dalam kasus ini, nama Marcella Santoso muncul sebagai sosok yang diduga berada di balik produksi dan penyebaran konten tersebut.
Pihak TNI pun angkat suara dan menyatakan tengah mendalami peran Marcella dalam penyebaran informasi yang mereka anggap tidak sesuai dengan substansi asli RUU TNI yang sedang dibahas.
Awal Mula Kontroversi
Konten yang menuai perhatian itu beredar luas di media sosial dalam bentuk video dan infografis yang memuat narasi bahwa revisi RUU TNI akan “membuka ruang militerisasi sipil” dan “membatasi kebebasan berekspresi.” Unggahan tersebut mendapatkan ribuan respons dari warganet dan menyulut perdebatan panas.
Namun, menurut pihak TNI, isi konten tersebut telah dipelintir dan tidak mencerminkan isi naskah RUU yang sebenarnya.
“Kami tidak anti-kritik. Tapi penyebaran informasi yang tidak akurat dapat menyesatkan publik dan mengganggu proses demokrasi,” ujar Kepala Pusat Penerangan TNI dalam konferensi pers, Jumat (20/6).
Siapa Marcella Santoso?
Marcella Santoso dikenal sebagai aktivis digital dan konten kreator yang aktif menyuarakan isu-isu sosial dan kebijakan publik. Dalam beberapa tahun terakhir, ia kerap membuat konten edukatif tentang politik, HAM, dan pemerintahan. Namun kali ini, kiprahnya justru memicu kontroversi.
Marcella belum memberikan pernyataan resmi kepada media, namun akun media sosialnya menunjukkan bahwa ia memang mengunggah konten yang mengkritik beberapa poin dalam RUU TNI. Ia juga menyatakan bahwa kontennya dibuat untuk “membuka ruang diskusi publik.”
“Kalau negara tidak mau dikritik, bagaimana rakyat bisa tahu dan paham?” tulisnya dalam salah satu unggahan di akun X (Twitter)-nya.
TNI Tempuh Jalur Klarifikasi
Sampai saat ini, TNI belum secara resmi melaporkan kasus ini ke kepolisian. Namun, mereka menyatakan akan melakukan klarifikasi dan pendekatan hukum bila perlu, demi menjaga kondusivitas dan keakuratan informasi di ruang publik.
Langkah ini menimbulkan perdebatan di kalangan pengamat hukum dan kebebasan berekspresi. Beberapa pihak mengingatkan agar klarifikasi dilakukan dengan pendekatan dialog, bukan kriminalisasi.
“Jangan sampai upaya mengoreksi informasi justru mengancam kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi,” ujar Arif Susanto, analis politik dari sebuah lembaga kajian kebijakan.
Publik Terbelah: Edukasi atau Provokasi?
Reaksi masyarakat atas kasus ini pun beragam. Sebagian mendukung langkah TNI untuk meluruskan informasi, sementara yang lain menilai reaksi institusi militer terlalu berlebihan terhadap konten yang bersifat opini dan kritik.
Di sisi lain, kasus ini menjadi refleksi penting tentang bagaimana informasi publik, khususnya mengenai isu-isu strategis seperti militer, harus disampaikan dengan akurat dan proporsional.
Kasus antara TNI dan Marcella Santoso membuka diskusi penting tentang batas antara edukasi digital dan penyebaran informasi yang berpotensi menyesatkan. Di tengah era disinformasi yang kian kompleks, publik membutuhkan kejelasan dan keterbukaan dari semua pihak—baik pembuat konten maupun lembaga negara.
Kritik adalah bagian dari demokrasi. Namun, akurasi dan tanggung jawab dalam menyampaikan informasi adalah fondasinya.